Sunday, March 27, 2022

Abadi Tanpa Tapi

Kau menjagaku dalam diam
Romantisme hadir di sekadar gumam
Tak ada riuh, pun tak ada gemuruh
Hatiku yang siap, beranjak gaduh
Aduh!

Dua puluh tujuh
Ingat, bukan?
Janji suci diutarakan

Hargaiku dengan memiliki
Kau, aku, bersisi
Tak pernah meski sekali
Aku lupa siapa diri

Dua puluh tujuh
Ingat, bukan?
Tautan, ikatan disaksikan Tuhan

Perjumpaan yang tak pernah buatku enggan
Hingga sekarang, dan di mendatang
Kaulah tempat aku merasa pulang
Bersanding, merangkai kenangan

Jika maut mengoyak hari
Berjanjilah, cinta kan abadi tanpa tapi
Share:

Saturday, March 26, 2022

Jika

Jika aku tahu
Kemarin hari terakhir kutatap rautmu
Kan kupandang, tak kulepaskan
Kan kugenggam, tak kubebaskan

Jika aku tahu
Kemarin hari terakhir kau nikmati harimu
Kan kutenangkan, jangan risaukan
Kan kuteduhkan, jangan takutkan

Jika aku tahu
Kemarin hari terakhir kudekap tubuhmu
Kan kuhangatkan, jangan kedinginan
Kan kukuatkan, jangan kesakitan

Jika aku mampu
Memprediksi waktu
Aku akan bersurat pada Tuhan
Berapa harga kebersamaan?
Apa syarat menunda perpisahan?

Jika aku mampu
Mengendalikan waktu
Aku akan menahan, menahan, menahan
Rotasi bumi kan kuhentikan
Malaikat maut kan kusingkirkan

Apalah daya, hanyalah raga
Bisaku berupaya
Aku hanya manusia biasa
Bukan sosok tanpa dosa
Kembali, pasti padaNya
Share:

Sunday, March 6, 2022

Pustaka Rasa

Sastra, ujaran, dan aksara
Ketiganya menjadikanku manusia
Nabi bersabda dalam bahasa
Tuhan berfirman lewat kata-kata

Aku belum berubah gila
Aku masih manusia
Tuhan jauhkanku dari porak poranda
Raga tidak hanya tersusun atas nyawa

Mereka tahu apa?
Bisanya marah, mencerca
Tak paham senandung rasa
Jatuhnya bulir air mata

Mereka yang tak mengenal cinta
Bilang tubuh hanya daging tak bermakna
Tulang belulang sebatas rangka
Tak berjiwa, patutnya binasa

Terima kasih yang tetap ada
Tangguh, teduh, melindungi dengan doa
Senantiasa menyembuhkan luka
Menghibur lewat jenaka

Terima kasih, ya

Malang, 5 Maret 2022

Share:

Thursday, March 3, 2022

Adakah Kata Selamanya?

adakah kata selamanya?
untuk kita

setapak demi setapak aku meniti langkah tertatih.
ya, hati ini masih terasa perih.

adakah kata selamanya?
untuk kita

kini kita terpisah di dua dunia
aku terlunta
tak bisa
tanpamu, yang senantiasa penuh cinta

adakah kata selamanya?
untuk kita

katakan, akankah aku bahagia?
jika merengkuhmu aku tak bisa
jika memelukmu aku tak kuasa

mencintaimu tanpa tapi
merindukanmu tak bertepi

aku di sini
tak lelah menanti
tak akan berhenti mencintai
kau, yang tak terganti

27 hari kau telah pergi
Share:

Tuesday, March 1, 2022

Perempuan di Pusaran Peradilan (Jawa Pos, 16 November 2009)

Testimoni yang disampaikan Rani Juliani -yang berusaha mematahkan “nyanyian” Wiliardi dalam kasus pembunuhan Nasrudin dan menempatkan mantan pimpinan KPK Antasari Azhar (AA) sebagai tersangka- merupakan bagian dari sikap dan sepak terjang Rani. Itu, secara langsung maupun tidak, berpengaruh dalam “merias” wajah peradilan di negeri ini.

Dalam koridor tetap berpegang teguh pada asas praduga tak bersalah, tentulah kita layak membayangkan, seandainya Rani tidak masuk kehidupan Antasari -saat itu jadi “bos” KPK-sebagai “perempuan lain” (the other woman), apakah wajah peradilan bersih dari riasan karut-marut? Ataukah memang demikian besar pengaruh perempuan dalam merias (memengaruhi) atau mendesain potret dunia peradilan?

Ketika belum mencuat dugaan keterlibatan Rani dalam kasus yang menempatkan AA sebagai tersangka, wajah peradilan korupsi mulai menunjukkan pamornya. Sepak terjang KPK, menurut publik atau kalangan pencari keadilan, sudah menjadi pintu pembuka lahirnya peradilan berkeadaban baru.

KPK sudah terbukti mampu membuat wajah dunia peradilan, khususnya dalam penanganan perkara korupsi, mulai menunjukkan benderangnya. Kinerjanya membuat suatu kasus yang semula dinilai sebagai kasus mission imposible untuk dibongkar atau disentuh benar-benar mampu dirambah.

Elemen kekuasaan atau elite strategis negara seperti bupati, wali kota, menteri, gubernur, dewan, dan bahkan elemen yudisial yang berperan menyelidik, menyidik, dan menuntut terbukti sudah menjadi “korban” taring-taring KPK. Sebagaimana ditulis Husen Al-Has (2008), lembaga KPK tidak hanya akan membuat bibit-bibit koruptor patah dan mati sejak dini, tetapi jati diri Indonesia sebagai negara hukum benar-benar terlihat.

Kalau semula norma hukum sering “gagap” bahkan temaram di tangan aparat penegak hukum selain KPK, KPK mampu membuka sejarah baru dunia peradilan yang berusaha memahami dan mewujudkan aspirasi rakyat (pencari keadilan).

Namun, begitu nama Rani memasuki jagat KPK lewat AA, citra KPK ikut terpengaruh. Diakui maupun tidak, dugaan “keterpelesetan” AA dengan Rani telah menyeret problem institusional yang menampakkan hiasan simbiosis mutualisme. Dalam kasus ini, Rani seperti sedang menunjukkan power bahwa sikap dan sepak terjangnya selama ini sudah ikut merias wajah peradilan.

***

Memang ada istilah, kalau ada seseorang teguh secara moral, cobalah taklukkan dengan uang. Kalau orang itu masih tidak mempan dikalahkan dengan godaan uang, cobalah jinakkan dengan kekuasaan (pengaruh). Kalau masih juga tidak bisa dijinakkan dengan kekuasaan, tundukkan dengan perempuan. Sekuat-kuatnya iman (moral) seseorang, kalau yang menggoda, memengaruhi, dan berelasi dengannya adalah perempuan, integritas moralnya sulit tak terkoyak atau tak terkooptasi.

“Skenario” itu sebenarnya dapat dibaca sebagai suatu bentuk peringatan secara radikal, bahwa berelasi dengan perempuan di muka bumi ini dapat menjadi akar kriminogen yang mendorong terjadinya, maraknya, dan menguatnya problem penyimpangan norma hukum dan agama. Seseorang yang semula terkenal sebagai pilar pemberantasan korupsi atau dipercaya sebagai “Mr Clean” dalam membersihkan patologi kekuasaan bisa kehilangan keberdayaannya. Kecerdasan akalnya teramputasi dan terhegemoni.

Itu menguatkan titah suci Illahi bahwa perempuan menjadi penegak agama dan negara, namun juga bisa menjadi penghancur negara dan agama. Artinya, perempuan merupakan perias wajah sejarah pergulatan hidup manusia di muka bumi, termasuk wajah elemen strategis dunia peradilan. Siapa saja di antara elemen peradilan yang nekat memainkan atau dimainkan perempuan, dirinya akan hancur.

Dalam ranah itulah justru perempuan mampu menunjukkan hegemoninya, yang barangkali selama ini tidak pernah dimiliki. Sosok lelaki yang semula karismatik atau dikenal tegas, bijak, dan adil dalam menyikapi problem yang dihadapkan kepadanya akhirnya hanya berperan sumir karena menyerah dan kalah dalam rumus segmentasi kultural matriarkat.

Tatkala prinsip itu yang berlaku, seperti kata cendekiawan muslim Imadduddin Abdurrahim, manusia terjerumus jadi pemeluk “Tuhan triple-Ta” alias Tuhan Takhta, Tuhan Harta, dan Tuhan Wanita. Perempuan (wanita) akhirnya menjadi target monolitik yang tidak tertandingi dan diabsolutkan sebagai kekuatan utama yang menentukan pergulatan hidup dan kepentingan manusia itu sendiri. Perempuan diperlakukannya sebagai “Tuhan” yang kehadirannya dibiarkan mengalirkan “ayat-ayat” kepentingan secara spesifik.

Dalam tataran itu, elite strategis peradilan berarti terjebak sebagai objek subordinatif yang kehilangan kemerdekaan dan kecerdasan moral spiritualnya. Dia telah terkalahkan oleh berahi pemujaan “mazhab” kapitalisme tubuh, biologis, atau kekuasaan guna meraih dan mengabsolutkan keuntungan atau memenangkan kepentingan eksklusif yang sudah ditargetkannya.

Apa yang diperbuat elite strategis itu tidak dihasilkan lewat kreasi dan kapabilitas kecerdasan nuraninya sebagai “corong peradilan”. Namun, didasarkan pada kalkulasi matematis hukum pasar yang disterilkan dari pengaruh kontrol moral profesinya. Kekuatan moral keagamaan, misalnya, tidak diperlakukan sebagai pengendali dan penyelamat peran yudisialnya. Melainkan sebatas sebagai pembenar-pembenar petualangannya yang berada dalam koridor “desain” perempuan.

Kalau sudah begitu, kejahatan bercorak extraordinary atau kejahatan sempurna sulit terbendung dari keniscayaan untuk hadir, eksis, dan mengeksplosi di tengah relasi sosial, politik, ekonomi, agama, dan budaya. Kejahatan itu bahkan punya kemampuan untuk bereksperimen dan memberdayakan guna menunjukkan posisi tawar dan gugatnya dengan tingkat kapabilitas profetik dan moralnya. Mereka tidak bisa menghindar dari realitas ancaman besar berupa reduksi jati diri atau terkooptasinya ketahanan moral, apalagi ketika dihadapkan pada kasus-kasus yang secara langsung berelasi dengan kepentingan dan ambisi perempuan yang tak kenal titik nadir menghegemoni.

Imbas makro dari keterjajahan moral elite strategis yudisial itu adalah jatuhnya korban citra penegakan hukum dan menguatnya fenomena pembusukan kode etik profesi dan norma hukum. Nasib pencari keadilan dan negara hukum tak ubahnya sebagai objek yang dikomoditaskan atau dieksploitasi habis-habisan oleh kekuatan yang berhasil menjadikan perempuan sebagai kartu truf.

Catatan:

Tulisan saya ini telah terbit di surat kabar Jawa Pos pada 16 November 2009. Saya menyalin tulisan ini dari beberapa tautan yang menerbitkan ulang tulisan saya ini. Terima kasih atas apresiasi yang diberikan. Berikut beberapa tautan yang menyalin rekat artikel saya ini: antikorupsi.org dan gagasanhukum.wordpress.com

Share: