Pa, anakmu rindu seluruh kata bijak dan indah darimu.
Pa, anakmu rindu kelembutan hatimu dan tutur bahasamu.
Anakmu rindu.
Aku rindu.
Saat hanya engkau yang memahamiku
Tanpa aku bercerita, hanya melalui diamku yang membisu
Kau tahu
Kalau ada yang lebih utuh dari rindu
Adalah bejana waktu milikku
Penuh berisi memori tentangmu
Keindahanmu perlahan menyatu
Antara nyata dan semu adakah satu?
Membedakannya aku tak mampu
Di manakah kamu?
Langkahku terseok meragu
Biasa ada dirimu kini aku tergugu
Fajar yang berpendar tak lagi sama
Senja yang memudar kian berbeda
Semesta riuh saling bertegur sapa
Kuberlari mencari sosokmu di pusatnya
Temukan aku, segera
Aku tak berdaya, tak kuasa, tak bisa
Rinduku menyesakkan dada
Cintaku berebut ingin bersama
Denganmu selamanya
Kamu mengalir di nadi
Adakah mengerti kosong di hati?
Hanya kamu yang bisa mengisi
Singgasana, tahta, dan sudut sanubari
Testimoni yang disampaikan Rani Juliani -yang berusaha mematahkan “nyanyian” Wiliardi dalam kasus pembunuhan Nasrudin dan menempatkan mantan pimpinan KPK Antasari Azhar (AA) sebagai tersangka- merupakan bagian dari sikap dan sepak terjang Rani. Itu, secara langsung maupun tidak, berpengaruh dalam “merias” wajah peradilan di negeri ini.
Dalam koridor tetap berpegang teguh pada asas praduga tak bersalah, tentulah kita layak membayangkan, seandainya Rani tidak masuk kehidupan Antasari -saat itu jadi “bos” KPK-sebagai “perempuan lain” (the other woman), apakah wajah peradilan bersih dari riasan karut-marut? Ataukah memang demikian besar pengaruh perempuan dalam merias (memengaruhi) atau mendesain potret dunia peradilan?
Ketika belum mencuat dugaan keterlibatan Rani dalam kasus yang menempatkan AA sebagai tersangka, wajah peradilan korupsi mulai menunjukkan pamornya. Sepak terjang KPK, menurut publik atau kalangan pencari keadilan, sudah menjadi pintu pembuka lahirnya peradilan berkeadaban baru.
KPK sudah terbukti mampu membuat wajah dunia peradilan, khususnya dalam penanganan perkara korupsi, mulai menunjukkan benderangnya. Kinerjanya membuat suatu kasus yang semula dinilai sebagai kasus mission imposible untuk dibongkar atau disentuh benar-benar mampu dirambah.
Elemen kekuasaan atau elite strategis negara seperti bupati, wali kota, menteri, gubernur, dewan, dan bahkan elemen yudisial yang berperan menyelidik, menyidik, dan menuntut terbukti sudah menjadi “korban” taring-taring KPK. Sebagaimana ditulis Husen Al-Has (2008), lembaga KPK tidak hanya akan membuat bibit-bibit koruptor patah dan mati sejak dini, tetapi jati diri Indonesia sebagai negara hukum benar-benar terlihat.
Kalau semula norma hukum sering “gagap” bahkan temaram di tangan aparat penegak hukum selain KPK, KPK mampu membuka sejarah baru dunia peradilan yang berusaha memahami dan mewujudkan aspirasi rakyat (pencari keadilan).
Namun, begitu nama Rani memasuki jagat KPK lewat AA, citra KPK ikut terpengaruh. Diakui maupun tidak, dugaan “keterpelesetan” AA dengan Rani telah menyeret problem institusional yang menampakkan hiasan simbiosis mutualisme. Dalam kasus ini, Rani seperti sedang menunjukkan power bahwa sikap dan sepak terjangnya selama ini sudah ikut merias wajah peradilan.
***
Memang ada istilah, kalau ada seseorang teguh secara moral, cobalah taklukkan dengan uang. Kalau orang itu masih tidak mempan dikalahkan dengan godaan uang, cobalah jinakkan dengan kekuasaan (pengaruh). Kalau masih juga tidak bisa dijinakkan dengan kekuasaan, tundukkan dengan perempuan. Sekuat-kuatnya iman (moral) seseorang, kalau yang menggoda, memengaruhi, dan berelasi dengannya adalah perempuan, integritas moralnya sulit tak terkoyak atau tak terkooptasi.
“Skenario” itu sebenarnya dapat dibaca sebagai suatu bentuk peringatan secara radikal, bahwa berelasi dengan perempuan di muka bumi ini dapat menjadi akar kriminogen yang mendorong terjadinya, maraknya, dan menguatnya problem penyimpangan norma hukum dan agama. Seseorang yang semula terkenal sebagai pilar pemberantasan korupsi atau dipercaya sebagai “Mr Clean” dalam membersihkan patologi kekuasaan bisa kehilangan keberdayaannya. Kecerdasan akalnya teramputasi dan terhegemoni.
Itu menguatkan titah suci Illahi bahwa perempuan menjadi penegak agama dan negara, namun juga bisa menjadi penghancur negara dan agama. Artinya, perempuan merupakan perias wajah sejarah pergulatan hidup manusia di muka bumi, termasuk wajah elemen strategis dunia peradilan. Siapa saja di antara elemen peradilan yang nekat memainkan atau dimainkan perempuan, dirinya akan hancur.
Dalam ranah itulah justru perempuan mampu menunjukkan hegemoninya, yang barangkali selama ini tidak pernah dimiliki. Sosok lelaki yang semula karismatik atau dikenal tegas, bijak, dan adil dalam menyikapi problem yang dihadapkan kepadanya akhirnya hanya berperan sumir karena menyerah dan kalah dalam rumus segmentasi kultural matriarkat.
Tatkala prinsip itu yang berlaku, seperti kata cendekiawan muslim Imadduddin Abdurrahim, manusia terjerumus jadi pemeluk “Tuhan triple-Ta” alias Tuhan Takhta, Tuhan Harta, dan Tuhan Wanita. Perempuan (wanita) akhirnya menjadi target monolitik yang tidak tertandingi dan diabsolutkan sebagai kekuatan utama yang menentukan pergulatan hidup dan kepentingan manusia itu sendiri. Perempuan diperlakukannya sebagai “Tuhan” yang kehadirannya dibiarkan mengalirkan “ayat-ayat” kepentingan secara spesifik.
Dalam tataran itu, elite strategis peradilan berarti terjebak sebagai objek subordinatif yang kehilangan kemerdekaan dan kecerdasan moral spiritualnya. Dia telah terkalahkan oleh berahi pemujaan “mazhab” kapitalisme tubuh, biologis, atau kekuasaan guna meraih dan mengabsolutkan keuntungan atau memenangkan kepentingan eksklusif yang sudah ditargetkannya.
Apa yang diperbuat elite strategis itu tidak dihasilkan lewat kreasi dan kapabilitas kecerdasan nuraninya sebagai “corong peradilan”. Namun, didasarkan pada kalkulasi matematis hukum pasar yang disterilkan dari pengaruh kontrol moral profesinya. Kekuatan moral keagamaan, misalnya, tidak diperlakukan sebagai pengendali dan penyelamat peran yudisialnya. Melainkan sebatas sebagai pembenar-pembenar petualangannya yang berada dalam koridor “desain” perempuan.
Kalau sudah begitu, kejahatan bercorak extraordinary atau kejahatan sempurna sulit terbendung dari keniscayaan untuk hadir, eksis, dan mengeksplosi di tengah relasi sosial, politik, ekonomi, agama, dan budaya. Kejahatan itu bahkan punya kemampuan untuk bereksperimen dan memberdayakan guna menunjukkan posisi tawar dan gugatnya dengan tingkat kapabilitas profetik dan moralnya. Mereka tidak bisa menghindar dari realitas ancaman besar berupa reduksi jati diri atau terkooptasinya ketahanan moral, apalagi ketika dihadapkan pada kasus-kasus yang secara langsung berelasi dengan kepentingan dan ambisi perempuan yang tak kenal titik nadir menghegemoni.
Imbas makro dari keterjajahan moral elite strategis yudisial itu adalah jatuhnya korban citra penegakan hukum dan menguatnya fenomena pembusukan kode etik profesi dan norma hukum. Nasib pencari keadilan dan negara hukum tak ubahnya sebagai objek yang dikomoditaskan atau dieksploitasi habis-habisan oleh kekuatan yang berhasil menjadikan perempuan sebagai kartu truf.
Catatan:
Tulisan saya ini telah terbit di surat kabar Jawa Pos pada 16 November 2009. Saya menyalin tulisan ini dari beberapa tautan yang menerbitkan ulang tulisan saya ini. Terima kasih atas apresiasi yang diberikan. Berikut beberapa tautan yang menyalin rekat artikel saya ini: antikorupsi.org dan gagasanhukum.wordpress.com
Belahan jiwa
Kau pergi tanpa pertanda
Kau berpesan tanpa perantara
Ternyata kau akan tinggalkan dunia
Kau menyudahi waktu kita untuk bersama
Belahan jiwa
Sakit yang kau rasa, kami tak memahaminya
Duka luka yang melanda, kau kuat hadapinya
Hingga hembusan napas pamungkas
Kau biarkan senyummu terlepas
Agaknya, tangis kami pun hingga kebas
Maafkan buah hatimu
Masih kurang sabarku
Masih saja hadir mengeluhku
Masih terus aku menggerutu
Masih masih masih penuh aku
Maafkan aku
Aku yang runtuh tanpamu
Aku yang rapuh ditinggalkanmu
Aku yang jatuh
Aku yang meluruh
Di sini
Terus mencintai
Tanpa henti
Menantimu
Terus merindu
Kasih dan sayangmu
Tenanglah
Tenanglah
Tenanglah
Aku tak akan menyerah
Belahan jiwaku
Aku mencintaimu
Rest in Love,
Malang, February 4, 2022
2 Januari 2022
Selamat tahun baru, teman-teman semua. Sepertinya dua tahun terakhir telah menjadi tahun yang berat bagi kita semua. Banyak kehilangan. Banyak kesedihan. Banyak keputusasaan. Banyak kegelisahan. Banyak ketidakpastian. Banyak kemarahan. Dan perasaan-perasaan lain yang campur aduk.
Ini semua tidak mudah. Bagi siapa saja.
Kepada yang sampai detik ini telah berhasil bertahan dan tetap kuat, kalian semua hebat. Kita semua hebat. Kita tetap bisa bertahan di tengah keporakporandaan dan ketidakadilan yang mungkin kita rasakan. Satu hal ya harus kita yakini, Tuhan ada. Tuhan mendengarkan kita. Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan. Tuhan pasti sedang menyembunyikan pesan. Kita diminta untuk menemukan pesan tersebut dan menghayati makna di dalamnya.
2021
Banyak peristiwa dan airmata di dalamnya.
Jatuh, lalu kembali bangkit.
Sakit, lalu bersemangat untuk sehat.
Gagal, lalu kembali mencoba.
Menangis, lalu kembali tertawa.
Sedih, lalu kembali bahagia.
Bukankah seperti itu hakikat hidup ini?
Beberapa ketidakadilan yang hadir mungkin diciptakan Tuhan untuk menjadikan kita semakin tangguh dan kuat. Di baliknya, terdapat misteri yang masih disimpan rapi oleh Tuhan. Manusia hanya mampu berencana.
Semoga tahun 2022 membawa keberkahan bagi kita semua. Aaamin