Testimoni yang disampaikan Rani Juliani -yang berusaha mematahkan
“nyanyian” Wiliardi dalam kasus pembunuhan Nasrudin dan menempatkan
mantan pimpinan KPK Antasari Azhar (AA) sebagai tersangka- merupakan
bagian dari sikap dan sepak terjang Rani. Itu, secara langsung maupun
tidak, berpengaruh dalam “merias” wajah peradilan di negeri ini.
Dalam koridor tetap berpegang teguh pada asas praduga tak bersalah,
tentulah kita layak membayangkan, seandainya Rani tidak masuk kehidupan
Antasari -saat itu jadi “bos” KPK-sebagai “perempuan lain” (the other
woman), apakah wajah peradilan bersih dari riasan karut-marut? Ataukah
memang demikian besar pengaruh perempuan dalam merias (memengaruhi) atau
mendesain potret dunia peradilan?
Ketika belum mencuat dugaan keterlibatan Rani dalam kasus yang
menempatkan AA sebagai tersangka, wajah peradilan korupsi mulai
menunjukkan pamornya. Sepak terjang KPK, menurut publik atau kalangan
pencari keadilan, sudah menjadi pintu pembuka lahirnya peradilan
berkeadaban baru.
KPK sudah terbukti mampu membuat wajah dunia peradilan, khususnya
dalam penanganan perkara korupsi, mulai menunjukkan benderangnya.
Kinerjanya membuat suatu kasus yang semula dinilai sebagai kasus mission
imposible untuk dibongkar atau disentuh benar-benar mampu dirambah.
Elemen kekuasaan atau elite strategis negara seperti bupati, wali
kota, menteri, gubernur, dewan, dan bahkan elemen yudisial yang berperan
menyelidik, menyidik, dan menuntut terbukti sudah menjadi “korban”
taring-taring KPK. Sebagaimana ditulis Husen Al-Has (2008), lembaga KPK
tidak hanya akan membuat bibit-bibit koruptor patah dan mati sejak dini,
tetapi jati diri Indonesia sebagai negara hukum benar-benar terlihat.
Kalau semula norma hukum sering “gagap” bahkan temaram di tangan
aparat penegak hukum selain KPK, KPK mampu membuka sejarah baru dunia
peradilan yang berusaha memahami dan mewujudkan aspirasi rakyat (pencari
keadilan).
Namun, begitu nama Rani memasuki jagat KPK lewat AA, citra KPK ikut
terpengaruh. Diakui maupun tidak, dugaan “keterpelesetan” AA dengan Rani
telah menyeret problem institusional yang menampakkan hiasan simbiosis
mutualisme. Dalam kasus ini, Rani seperti sedang menunjukkan power bahwa
sikap dan sepak terjangnya selama ini sudah ikut merias wajah
peradilan.
Memang ada istilah, kalau ada seseorang teguh secara moral, cobalah
taklukkan dengan uang. Kalau orang itu masih tidak mempan dikalahkan
dengan godaan uang, cobalah jinakkan dengan kekuasaan (pengaruh). Kalau
masih juga tidak bisa dijinakkan dengan kekuasaan, tundukkan dengan
perempuan. Sekuat-kuatnya iman (moral) seseorang, kalau yang menggoda,
memengaruhi, dan berelasi dengannya adalah perempuan, integritas
moralnya sulit tak terkoyak atau tak terkooptasi.
“Skenario” itu sebenarnya dapat dibaca sebagai suatu bentuk
peringatan secara radikal, bahwa berelasi dengan perempuan di muka bumi
ini dapat menjadi akar kriminogen yang mendorong terjadinya, maraknya,
dan menguatnya problem penyimpangan norma hukum dan agama. Seseorang
yang semula terkenal sebagai pilar pemberantasan korupsi atau dipercaya
sebagai “Mr Clean” dalam membersihkan patologi kekuasaan bisa kehilangan
keberdayaannya. Kecerdasan akalnya teramputasi dan terhegemoni.
Itu menguatkan titah suci Illahi bahwa perempuan menjadi penegak
agama dan negara, namun juga bisa menjadi penghancur negara dan agama.
Artinya, perempuan merupakan perias wajah sejarah pergulatan hidup
manusia di muka bumi, termasuk wajah elemen strategis dunia peradilan.
Siapa saja di antara elemen peradilan yang nekat memainkan atau
dimainkan perempuan, dirinya akan hancur.
Dalam ranah itulah justru perempuan mampu menunjukkan hegemoninya,
yang barangkali selama ini tidak pernah dimiliki. Sosok lelaki yang
semula karismatik atau dikenal tegas, bijak, dan adil dalam menyikapi
problem yang dihadapkan kepadanya akhirnya hanya berperan sumir karena
menyerah dan kalah dalam rumus segmentasi kultural matriarkat.
Tatkala prinsip itu yang berlaku, seperti kata cendekiawan muslim
Imadduddin Abdurrahim, manusia terjerumus jadi pemeluk “Tuhan triple-Ta”
alias Tuhan Takhta, Tuhan Harta, dan Tuhan Wanita. Perempuan (wanita)
akhirnya menjadi target monolitik yang tidak tertandingi dan
diabsolutkan sebagai kekuatan utama yang menentukan pergulatan hidup dan
kepentingan manusia itu sendiri. Perempuan diperlakukannya sebagai
“Tuhan” yang kehadirannya dibiarkan mengalirkan “ayat-ayat” kepentingan
secara spesifik.
Dalam tataran itu, elite strategis peradilan berarti terjebak sebagai
objek subordinatif yang kehilangan kemerdekaan dan kecerdasan moral
spiritualnya. Dia telah terkalahkan oleh berahi pemujaan “mazhab”
kapitalisme tubuh, biologis, atau kekuasaan guna meraih dan
mengabsolutkan keuntungan atau memenangkan kepentingan eksklusif yang
sudah ditargetkannya.
Apa yang diperbuat elite strategis itu tidak dihasilkan lewat kreasi
dan kapabilitas kecerdasan nuraninya sebagai “corong peradilan”. Namun,
didasarkan pada kalkulasi matematis hukum pasar yang disterilkan dari
pengaruh kontrol moral profesinya. Kekuatan moral keagamaan, misalnya,
tidak diperlakukan sebagai pengendali dan penyelamat peran yudisialnya.
Melainkan sebatas sebagai pembenar-pembenar petualangannya yang berada
dalam koridor “desain” perempuan.
Kalau sudah begitu, kejahatan bercorak extraordinary atau kejahatan
sempurna sulit terbendung dari keniscayaan untuk hadir, eksis, dan
mengeksplosi di tengah relasi sosial, politik, ekonomi, agama, dan
budaya. Kejahatan itu bahkan punya kemampuan untuk bereksperimen dan
memberdayakan guna menunjukkan posisi tawar dan gugatnya dengan tingkat
kapabilitas profetik dan moralnya. Mereka tidak bisa menghindar dari
realitas ancaman besar berupa reduksi jati diri atau terkooptasinya
ketahanan moral, apalagi ketika dihadapkan pada kasus-kasus yang secara
langsung berelasi dengan kepentingan dan ambisi perempuan yang tak kenal
titik nadir menghegemoni.
Imbas makro dari keterjajahan moral elite strategis yudisial itu
adalah jatuhnya korban citra penegakan hukum dan menguatnya fenomena
pembusukan kode etik profesi dan norma hukum. Nasib pencari keadilan dan
negara hukum tak ubahnya sebagai objek yang dikomoditaskan atau
dieksploitasi habis-habisan oleh kekuatan yang berhasil menjadikan
perempuan sebagai kartu truf.
Published in Jawa Pos, 14 Nopember 2009
by Fitrotul Maulidiyah
0 Comments:
Post a Comment